Jumat, 26 Juni 2015

PENJABARAN KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA







Posisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  sebagai  komponen utama organisasi  masyarakat sipil di Indonesia masih lemah dibanding dengan pemerintah dan sektor swasta.  Implikasinya peran LSM sebagai kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah dan sektor swasta belum optimal.    Padahal, sebuah negara demokratis menghendaki adanya kesetaraan dan keseimbangan posisi dan peran dari ketiga pilar yakni pemerintah, swasta dan masyarakat sipil.


Upaya memperkuat posisi dan peran komunitas LSM Indonesia dari masa orde baru hingga pasca reformasi telah menghadapi berbagai tantangan.   Ketika Orde Baru berkuasa, jumlah LSM Indonesia sangat terbatas akibat minimnya ruang kebebasan berorganisasi dan beraktifitas.  Sebaliknya, pada masa  reformasi, ketika  ruang kebebasan terbuka  sangat  luas,  tumbuh berbagai  organisasi yang menyebut dirinya LSM.  Jika sebelumnya LSM  lebih banyak didirikan di kota-kota besar dan ibukota Provinsi yang dimotori oleh kalangan intelektual namun pasca 1998 kantor-kantor LSM tidak hanya berada di Jakarta dan ibukota provinsi-provinsi namun sudah berada di hampir seluruh ibukota kabupaten/kota di seluruh pelosok Indonesia.   Fenomena yang umum terjadi, Pasca 1998 adalah hampir  semua  kalangan  mendirikan  LSM,  mulai  dari  politisi,  anggota  DPR/DPRD,     pejabat pemerintah, pengusaha, dan bahkan kelompok-kelompok maupun individu yang memilki kepentingan-kepentingan tertentu.   Kehadiran lembaga ini, selain dipicu oleh euforia kebebasan pasca runtuhnya Orde Baru, juga dimotivasi oleh berbagai alasan dan tujuan yang tidak seluruhnya sejalan dengan layaknya misi pendirian sebuah LSM.


Implikasi yang terjadi adalah   derasnya arus ketidakpercayaan (distrust) publik yang melanda komunitas LSM Indonesia tak dapat dibendung.    Meski, hanya sejumlah kalangan yang menyalahgunakan LSM bagi kepentingan politik praktis, kepentingan kelompok, atau keuntungan pribadi,  namun  publik  terlanjur  membuat  generalisasi  yang  keliru  dan  stigma  negatif  terhadap seluruh komunitas LSM Indonesia.


LSM sebagai organisasi masyarakat sipil yang mengandalkan kekuatan dan gerakannya di atas kepercayaan dan dukungan para stakeholder, perlu untuk terus menerus meningkatkan akuntabilitasnya dalam praktik berorganisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa hadirnya segelintir organisasi yang menyebut dirinya LSM dan melakukan praktik kerja organisasi yang korup, telah ikut merusak kredibilitas dan legitimasi komunitas LSM di Indonesia secara umum. Kondisi ini dapat mengancam  peran dan perjuangan  LSM secara umum untuk kepentingan yang lebih besar dalam mendorong proses demokratisasi di semua arena politik lokal, nasional dan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar