Posisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai komponen utama organisasi masyarakat sipil di Indonesia masih lemah dibanding dengan pemerintah dan sektor swasta.
Implikasinya peran LSM sebagai kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah dan sektor swasta belum optimal. Padahal,
sebuah negara demokratis menghendaki
adanya kesetaraan dan keseimbangan posisi
dan
peran dari ketiga pilar yakni pemerintah,
swasta
dan masyarakat sipil.
Upaya memperkuat posisi
dan
peran komunitas LSM Indonesia dari masa
orde baru hingga pasca
reformasi telah
menghadapi berbagai tantangan. Ketika Orde Baru berkuasa, jumlah LSM Indonesia sangat terbatas akibat minimnya ruang kebebasan
berorganisasi dan beraktifitas.
Sebaliknya, pada masa reformasi, ketika ruang kebebasan terbuka
sangat luas,
tumbuh berbagai
organisasi yang menyebut dirinya LSM.
Jika sebelumnya LSM
lebih banyak didirikan di kota-kota besar dan ibukota
Provinsi yang
dimotori oleh
kalangan intelektual namun pasca 1998 kantor-kantor LSM tidak hanya
berada di Jakarta dan ibukota provinsi-provinsi namun sudah
berada di hampir seluruh ibukota
kabupaten/kota di seluruh pelosok Indonesia.
Fenomena yang umum terjadi, Pasca 1998 adalah hampir
semua kalangan mendirikan LSM, mulai dari
politisi,
anggota DPR/DPRD,
pejabat pemerintah, pengusaha, dan bahkan kelompok-kelompok maupun individu
yang memilki
kepentingan-kepentingan tertentu. Kehadiran lembaga ini, selain dipicu oleh euforia kebebasan
pasca runtuhnya Orde Baru, juga dimotivasi oleh berbagai alasan
dan tujuan yang
tidak seluruhnya sejalan
dengan layaknya misi
pendirian sebuah LSM.
Implikasi yang
terjadi adalah derasnya arus ketidakpercayaan (distrust) publik yang melanda komunitas LSM Indonesia tak dapat dibendung.
Meski, hanya
sejumlah kalangan yang menyalahgunakan LSM
bagi kepentingan politik praktis, kepentingan kelompok, atau keuntungan
pribadi, namun publik
terlanjur membuat
generalisasi yang keliru dan stigma
negatif
terhadap seluruh komunitas LSM Indonesia.
LSM sebagai organisasi masyarakat sipil yang mengandalkan kekuatan dan gerakannya di atas
kepercayaan dan dukungan para stakeholder,
perlu untuk terus menerus meningkatkan akuntabilitasnya
dalam praktik berorganisasi. Tak
dapat dipungkiri bahwa hadirnya segelintir
organisasi yang menyebut dirinya LSM dan melakukan praktik kerja organisasi yang korup, telah ikut
merusak kredibilitas
dan legitimasi komunitas LSM di Indonesia secara umum. Kondisi ini dapat mengancam peran dan perjuangan LSM secara umum untuk kepentingan yang lebih besar dalam
mendorong proses demokratisasi
di semua arena politik
lokal, nasional dan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar